Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi telah melakukan analisis terhadap dampak penurunan harga nikel. Menurut Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan, Septian Hario Seto, jika harga nikel turun ke kisaran US$ 16.000-US$ 17.000 per ton, maka sekitar 50% perusahaan nikel dunia akan mengalami arus kas negatif.
Untuk Indonesia, smelter rotary kiln electric furnace (RKEF) masih bisa mendapatkan keuntungan sekitar US$ 1.000-1500 per ton. Sementara itu, smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL) masih bisa mendapatkan keuntungan sekitar US$ 2.000-2.500 per ton.
Jika harga nikel turun di bawah US$ 15.000 per ton, banyak negara seperti Australia, Kanada, Kaledonia Baru, dan China akan memangkas pasokan nikel mereka. Namun, harga nikel diprediksi tidak akan turun lebih jauh lagi.
Namun, jika permintaan nikel terus menurun, maka kapasitas smelter di Indonesia akan berkurang. “Kalau memang demand-nya sampai collapse akan kemungkinan bisa turun di bawah US$ 15 ribu. Di situlah mungkin akan lihat ada banyak smelter di Indonesia yang mengurangi kapasitas utilisasinya,” ungkap Septian.
Harga nikel pada bulan Januari 2024 turun menjadi US$16.368,88 per metrik ton, dibandingkan dengan Desember 2023 yang berada di level US$17.653,33 per metrik ton, menyusut sebesar US$1.284,45 per metrik ton.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa nilai ekspor nikel Indonesia pada Januari 2024 tercatat sebesar US$496,96 juta. Nilai ini turun sebesar 4,7% dibandingkan dengan nilai ekspor nikel pada Desember 2023 yang mencapai US$521,8 juta.