Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI baru-baru ini mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) tentang Desa. Revisi ini telah menimbulkan berbagai reaksi dan perdebatan. Apakah ini merupakan kemenangan politik desa atau justru penguatan otonomi?
Kontroversi Revisi UU Desa
Revisi UU Desa ini mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan, pembangunan, dan kesejahteraan desa. Salah satu poin penting dalam revisi ini adalah perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) dari 6 tahun menjadi 8 tahun atau maksimal 2 periode. Sebelumnya, UU Desa mengatur masa jabatan Kades 6 tahun dengan maksimal 3 periode.
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi, menjelaskan bahwa perpanjangan masa jabatan bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada Kades untuk melanjutkan program pembangunan desa yang belum selesai. Menurutnya, masa jabatan 6 tahun dirasa kurang maksimal untuk menyelesaikan berbagai program yang dilaksanakan seperti infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, hingga peningkatan kesejahteraan desa.
Namun, revisi ini juga menuai kontroversi. Salah satunya adalah kenaikan anggaran desa yang dibahas dalam revisi UU Desa. Sebelumnya, sumber pendapatan desa berasal dari alokasi dana desa (ADD), dana desa (DD), dan sumber sah lainnya yang tidak mengikat. Kini dalam revisi UU Desa, besaran dana diubah yang sebelumnya Rp100 juta menjadi Rp200 juta per desa. Selain itu, pemerintah juga menambah tambahan dana bagi hasil pajak dan retribusi daerah (DBHPRD) sebesar 10 persen dari total DBHPRD yang diterima oleh kabupaten/kota.
Siapa yang Diuntungkan?
Revisi UU Desa ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, memperkuat otonomi desa, dan mengoptimalkan pengelolaan keuangan desa. Namun, ada beberapa pihak yang dianggap diuntungkan dari revisi ini, seperti pemerintah pusat, yang dapat mengintervensi penggunaan dana desa melalui mekanisme pembinaan dan pengawasan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memuji kinerja DPR RI setelah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam rapat paripurna. Menurutnya, kinerja DPR yang luar biasa itu karena tetap mematuhi prosedur pembuatan UU meski dikejar tenggat waktu.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah revisi ini benar-benar menguntungkan desa atau justru memperkuat otonomi pemerintah pusat? Apakah ini merupakan kemenangan politik desa atau justru penguatan otonomi? Pertanyaan-pertanyaan ini masih terus menjadi topik perdebatan yang hangat.
Kesimpulan
Revisi UU Desa ini tentunya membawa dampak yang signifikan bagi pemerintahan desa di Indonesia. Namun, apakah ini merupakan kemenangan politik desa atau justru penguatan otonomi, masih menjadi pertanyaan yang harus terus dikaji dan dibahas. Yang jelas, revisi ini diharapkan dapat membawa perubahan positif bagi masyarakat desa di Indonesia.