Tapera, atau Tabungan Perumahan Rakyat, adalah sebuah kebijakan yang telah menimbulkan berbagai reaksi di tengah masyarakat. Di satu sisi, ada harapan bahwa program ini akan membantu masyarakat mendapatkan hunian yang terjangkau. Namun, di sisi lain, ada juga kekhawatiran bahwa potongan gaji sebesar 3% untuk Tapera dapat memperberat kondisi keuangan pekerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih belum stabil.
Kebijakan ini telah menuai pro dan kontra di masyarakat. Ada yang melihatnya sebagai langkah maju menuju pemenuhan hak atas perumahan yang layak. Namun, ada juga yang merasa bahwa kebijakan ini hanya akan memberatkan pekerja dengan potongan gaji.
Nasib Pasar Tanah di Era Baru
Di era digital saat ini, pasar tradisional menghadapi tantangan yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan semakin banyaknya orang yang beralih ke belanja online, pasar tradisional mulai merasa tekanan.
Pasar Tanah Abang, sebagai salah satu pasar terbesar di Indonesia, tentu tidak terkecuali. Pedagang di Pasar Tanah Abang merasa terusir dari tanah mereka sendiri. Mereka merasa bahwa era digital telah merubah cara berdagang mereka.
Namun, di tengah tantangan ini, ada juga peluang. Digitalisasi pasar tradisional menjadi sebuah keharusan di era sekarang. Dengan digitalisasi, pasar tradisional dapat menjangkau lebih banyak konsumen dan tetap bertahan di tengah persaingan dengan e-commerce.
Baik Tapera maupun nasib pasar tradisional di era baru, keduanya adalah contoh bagaimana perubahan dapat membawa harapan sekaligus kekhawatiran. Di satu sisi, ada harapan bahwa perubahan ini akan membawa manfaat bagi masyarakat. Namun, di sisi lain, ada juga kekhawatiran bahwa perubahan ini hanya akan memberatkan mereka.
Yang jelas, perubahan selalu membawa tantangan. Dan untuk dapat menghadapi tantangan ini, kita perlu beradaptasi dan terus belajar. Baik itu belajar untuk menerima potongan gaji untuk Tapera, atau belajar untuk berdagang di era digital. Karena pada akhirnya, yang dapat bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan perubahan.