Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah menjadi topik hangat yang dibicarakan masyarakat dalam beberapa hari terakhir. Keputusan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera telah memicu kontroversi.
Polemik Tapera terutama berasal dari poin tentang iuran Tapera sebesar 3 persen yang ditanggung 2,5 persen dari gaji pekerja swasta dan 0,5 persen pemberi kerja. Hal ini telah memicu kemarahan di kalangan masyarakat. Penolakan datang dari karyawan yang sudah memiliki rumah dan yang belum memiliki rumah serta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebagai pengusaha.
Karyawan swasta dan pekerja mandiri atau informal menilai program Tapera akan menjadi beban. Mereka berpendapat bahwa iuran tersebut hanya cocok bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Bagi karyawan hingga freelance, iuran tersebut dianggap memberatkan.
Apindo juga menolak wacana kebijakan pemotongan upah pekerja swasta. Mereka berpendapat bahwa program Tapera terbaru dianggap semakin menambah beban baru di tengah adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar.
Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, mempertanyakan dasar negara memotong gaji swasta untuk Tapera. Menurutnya, pengaturan bagi karyawan swasta merupakan bagian yang sangat privat sebab berkaitan dengan relasi mereka dan perusahaannya.
Polemik Tapera menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk dialog lebih lanjut antara pemerintah, karyawan, dan pengusaha. Solusi yang adil dan menguntungkan semua pihak perlu dicari untuk mengatasi kontroversi ini.
Polemik ini menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dan keterlibatan semua pihak dalam proses pengambilan keputusan. Hanya dengan cara ini, kita dapat mencapai solusi yang adil dan menguntungkan semua pihak.